Setelah The Fed mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 4,25% – 4,50% pada Rabu kemarin, harga Bitcoin (BTC) terus bergerak konsolidatif. Pada perdagangan hari ini harga sang jawara kripto itu berada di kisaran US$118.440 setelah sebelumnya mengalami koreksi ke kisaran US$117.500 imbas pidato Ketua The Fed, Jerome Powell yang bernada hawkish.
Powell beberapa waktu lalu menegaskan bahwa bank sentral masih bersikap hati-hati terhadap penyesuaian suku bunga tambahan karena adanya ketidakpastian ekonomi, terutama dampak tarif impor yang diberlakukan oleh pemerintahan Trump. Ia menyebut kondisi saat ini sebagai “awal dari inflasi tarif” dan menambahkan bahwa data ekonomi ke depan akan menjadi penentu arah kebijakan moneter selanjutnya.
Hal itu membuat tekanan di pasar aset digital. Selain itu, koreksi yang muncul juga mendapatkan pemantik dari ekspektasi pemangkasan suku bunga dalam waktu dekat, di mana peluang penurunan suku bunga pada bulan September mendatang, turun dari 63,7% menjadi 47,1% menurut data CME FedWatch.
Merespons kondisi tersebut, analis Tokocrypto, Fyqieh Fachrur menjelaskan keputusan The Fed menambah ketidakpastian di pasar kripto. Meski demikian, kondsi itu tidak secara serta-merta mengubah tren jangka menengah Bitcoin.
“Bitcoin masih berada dalam tren naik secara struktur makro. Koreksi ke bawah US$118.000 merupakan bagian dari koreksi harga yang disebabkan lesunya investor dan trader untuk masuk ke pasar, dan saat ini kita mulai melihat potensi awal bahwa BTC tetap kuat meski situasi makroekonomi belum sepenuhnya membaik,” ujar Fyqieh.
Menurutnya, jika BTC mampu bertahan di atas support penting US$115.780 atau sekitar Rp1,9 miliar, maka potensi rebound ke area rekor harga tingginya US$126.000–US$130.000 (Rp 2 miliar-Rp2,1 miliar) masih terbuka lebar.
Tetapi jika ternyata support tersebut jebol, harga Bitcoin bisa turun lebih jauh ke US$113.800.
- Baca Juga: Prediksi Harga Bitcoin (BTC) 2025, 2026, 2030
Dominasi Bitcoin Turun, Altcoin Season Muncul?
Di tengah pergerakan sideways Bitcoin, dominasi pasar aset kripto terbesar itu justru mengalami penurunan signifikan. Dalam sebulan terakhir, dominasi BTC anjlok sekitar 7%, menembus garis tren naik yang telah terbentuk sejak tiga tahun terakhir.
Penurunan dominasi ini memicu spekulasi bahwa altcoin season (altseason) mungkin akan bermula dalam waktu dekat.
“Pola grafik dominasi BTC tahun ini menyerupai formasi falling wedge yang juga muncul pada tahun 2021. Sebelum reli besar-besaran altcoin terjadi,” tambah Fyqieh.
Menurut prediksinya, dominasi Bitcoin bisa turun hingga 52% dalam beberapa bulan ke depan. Altcoin seperti Ethereum (ETH), Solana (SOL), dan XRP sudah mulai menunjukkan performa lebih baik dibanding BTC dalam beberapa pekan terakhir. Bahkan volume perdagangan berjangka perpetual Ethereum telah melampaui Bitcoin untuk pertama kalinya sejak akhir 2022, berdasarkan data dari Glassnode.
Indeks Altcoin Season dari Blockchain Center saat ini berada di level 37, menandakan bahwa altseason belum secara resmi berjalan. Namun, jika tren ini berlanjut, altcoin berpotensi menjadi pusat perhatian investor dalam waktu dekat.
Nah sekarang, pasar tengah menanti data inflasi Pengeluaran Konsumsi Pribadi (PCE) yang akan rilis dalam waktu dekat. Indikator ini dikenal sebagai tolok ukur favorit The Fed dalam menilai inflasi. Jika data aktual lebih rendah dari ekspektasi 0,3%. Pasar kripto kemungkinan besar akan merespons positif karena memperbesar peluang pelonggaran kebijakan moneter.
“Volatilitas kemungkinan masih akan tinggi dalam beberapa hari ke depan menjelang rilis data inflasi,” pungkasnya.
Bagaimana pendapat Anda tentang potensi altcoin season ini? Yuk, sampaikan pendapat Anda di grup Telegram kami. Jangan lupa follow akun Instagram dan Twitter BeInCrypto Indonesia, agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar dunia kripto!
